Ada momen-momen ketika alam seperti memaksa kita berhenti sejenak. Menghela napas. Menundukkan kepala. Mengingat bahwa di luar rutinitas dan target pekerjaan, ada manusia—sesama kita—yang sedang berjuang menyelamatkan hidupnya sendiri.
Musibah banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatra akhir tahun ini meninggalkan jejak luka yang dalam. Bukan hanya pada tanah yang terkelupas atau rumah yang tersapu, tetapi pada hati para keluarga yang kehilangan orang terkasih.
Dan di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang terus bergerak, kita di Rekaweb ingin mengajak pembaca untuk tidak menutup mata.
Ketika Air dan Tanah Berontak
“Selasa malam air memang sudah mulai naik, tapi belum sampai masuk rumah. Baru hari Rabu pagi langsung penuh sampai segini (tunjuk dada/sekitar 1,5–2 meter). Kami buru-buru pergi, tidak sempat ambil apa-apa. Hanya pakai baju di badan saja.” kata seorang warga dalam wawancara bersama Najwa Shihab di lokasi evakuasi, dikutip dari Youtube Channel Najwa Shihab.
Narasi seperti ini bukan satu dua. Ratusan cerita serupa bermunculan dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat.
Hujan ekstrem tak berhenti. Sungai meluap. Tanah yang rapuh runtuh dari tebing. Dalam hitungan menit, desa-desa yang sehari sebelumnya terlihat damai berubah menjadi puing, selimut lumpur, dan tangisan.
Skala Musibah—Lebih Besar dari yang Kita Bayangkan
Laporan BNPB dan berbagai media nasional menyebutkan bahwa korban meninggal akibat rangkaian banjir dan longsor di Sumatra telah mencapai hingga ratusan jiwa. Di beberapa titik, jalan utama terputus. Jembatan hanyut. Puluhan ribu warga harus mengungsi, sementara lainnya masih menunggu pencarian.
Yang hilang bukan hanya tempat tinggal—tetapi rasa aman, pekerjaan, dan harapan yang sebelumnya mereka simpan baik-baik.
Di balik angka statistik, ada wajah-wajah yang berjuang menghadapi malam tanpa listrik, anak-anak yang kehilangan buku sekolah, dan para ibu yang masih mencari anggota keluarga yang belum pulang.
Bencana Ini Bukan Sekadar “Alam”
Musibah selalu membuat kita ingin menyalahkan alam. Namun para pakar hidrologi dan pegiat lingkungan menyampaikan hal yang sama: hutan-hutan di hulu sungai Sumatra sudah terlalu lelah menahan beban manusia.
- Deforestasi bertahun-tahun
- Penambangan di kawasan rentan
- Pengelolaan daerah aliran sungai yang tidak berkelanjutan
- Alih fungsi lahan yang tidak terkendali
Semua ini memperlemah daya tahan tanah. Ketika hujan ekstrem datang, tanah runtuh. Sungai tak sanggup menahan debit air. Dan kita menyaksikan akibatnya di layar televisi, sementara mereka yang tinggal di sana mengalaminya langsung.
Ini adalah pesan keras. Sebuah pengingat bahwa hubungan kita dengan alam tidak seimbang. Dan bila dibiarkan, bencana semacam ini bisa menjadi rutinitas tahunan yang menakutkan.
Respons—Dari Pemerintah, Relawan, Hingga Tetangga yang Tak Saling Kenal
Kabar baiknya, setidaknya kita melihat solidaritas yang tak kalah kuat dari dasyatnya bencana itu sendiri.
- Pemerintah pusat dan daerah bergerak cepat membuka akses, mengirim bantuan, dan mengevakuasi warga.
- Tim SAR, polisi, TNI, dan relawan menyisir titik-titik longsor, bahkan di medan ekstrem yang penuh risiko.
- Komunitas dan organisasi kemanusiaan membuka dapur umum, pos pengungsian, serta layanan trauma healing untuk anak-anak.
- Bantuan logistik dari berbagai kota—Jakarta, Medan, Padang, Palembang—mengalir setiap hari.
Di tengah tragedi, kita melihat sisi terbaik manusia: keinginan membantu tanpa diminta.
Refleksi: Apa Yang Bisa Kita Lakukan dari Jarak Jauh?
Sebagian dari kita mungkin jauh dari lokasi. Tidak memegang cangkul, tidak menyisir reruntuhan, tidak memasak di posko.
Namun itu bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ada banyak bentuk kepedulian yang nyata:
- Berkontribusi dalam penggalangan bantuan, kita bisa menggunakan platform kitabisa.com
- Membantu menyebarkan informasi terkait donasi resmi yang aman
- Mendukung organisasi yang berfokus pada mitigasi bencana
- Menjadi bagian dari suara yang mendorong kebijakan lingkungan lebih bijak
- Menggunakan platform digital untuk membantu warga terdampak
Tidak semua bantuan harus berupa materi. Kadang kesadaran sosial yang kita bangun hari ini menjadi alasan mengapa kebijakan esok hari lebih baik.
Penutup: Doa, Cinta, dan Tanggung Jawab Bersama
Untuk keluarga yang kehilangan orang tercinta, Indonesia menangisi bersama kalian. Untuk warga yang masih mencari kerabat hilang, semoga Allah menguatkan langkah kalian. Untuk para relawan yang tidak tidur berhari-hari, kalian adalah pahlawan tanpa panggung.
Dan bagi kita yang membaca dari jauh—semoga bencana ini bukan hanya menjadi berita, tetapi menjadi titik refleksi:
Bahwa kita hidup di tanah yang sama. Bahwa alam adalah saudara, bukan objek. Bahwa membangun Indonesia bukan hanya urusan ekonomi, tapi juga urusan hati.
Semoga Sumatra pulih. Semoga kita semua menjadi manusia yang lebih peka, lebih bijak, dan lebih peduli.
Rekaweb ikut berduka. Dan kami percaya: dari setiap musibah, selalu lahir harapan baru.




